tes

Jumat, 28 Juli 2023

GEMAS MENDENGAR ALASANNYA (Salah Satu Praktik Baik Penerapan Budaya Positif di SD Negeri Lalowata)

Seperti biasa, saat mendapat giliran memfasilitasi apel pagi, saya selalu meminta seorang siswa memimpin dan merapikan barisan peserta. Setelahnya, memberikan arahan yang bersifat refleksi dan evaluasi perkembangan aktivitas sekolah dan aktivitas pembelajaran di kelas. Di tengah arahan, seorang siswa kelas satu tampak tiba-tiba duduk. Padahal telah sering disampaikan bahwa siswa tidak boleh duduk saat apel pagi dan menerima pengarahan.

Selang satu menit, saya mencoba memintanya untuk berdiri agar tidak menjadi perhatian siswa lainnya. Tak lupa menanyakan apakah dia merasa tidak enak badan atau sakit. Jawaban berupa gelengan kepala membuatku lega. Hanya saja, dari isyarat tidak apa-apa itu membuatku penasaran, mengapa dia harus duduk saat teman-temannya yang lain berdiri? Apalagi posisinya berada pada bagian paling depan.

Dari peristiwa ini, tiba-tiba terlintas di pikiran, mengapa tidak mencoba mengaktualisasikan Konsep Restitusi, salah satu materi yang ada pada modul 1.4 Program Guru Penggerak. Tentunya sebuah tantangan karena siswa tersebut masih duduk di kelas 1 dan belum genap sebulan bersekolah. Ditambah lagi, dia tidak sempat mendapat pengalaman belajar di taman kanak-kanak.

Usai apel pagi, mencoba menemui guru kelas 1. Tujuannya mencari informasi tentang siswa kelas 1 tersebut. Sebagai guru kelas 6, saya tidak memiliki banyak informasi tentang siswa yang ada di kelas 1. Pasalnya, mereka masih menjadi warga baru di SDN Lalowata. Dari guru kelas satu, saya mendapatkan informasi bahwa sang siswa merupakan anak yang paling menonojol di antara temannya dari segi kognitif dan keterampilan. Membuatku makin penasaran untuk melakukan praktik restitusi dalam rangka menanamkan disiplin positif pada dirinya. Menciptakan kondisi siswa tersebut untuk memperbaiki kesalahannya sehingga dia bisa kembali pada situasi umumnya siswa dengan karakter yang lebih kuat.

Berbekal izin dari guru kelas 1, saat sesi istirahat saya mencoba menghampirinya untuk membangun komunikasi. Benar saja, sang siswa memiliki kelebihan dibandinkan siswa yang lain. Di saat teman-temannya istrahat dan bermain, dia masih asyik menulis di dalam kelas. Sapaanku pun ditanggapinya dengan tenang, tetap menulis walau saya sudah duduk di sampingnya. Sebab ingin mengajaknya mengobrol, saya kemudian memintanya untuk berhenti menulis. Obrolan singkat pun tercipta. Tanpa disadarinya, saya mulai melakukan praktik restitusi. Menjalani tiga langkah segitiga restitusi: proses Menstabilkan Identitas, lalu Validasi Tindakan yang salah, kemudian Menanyakan Keyakinan. Tahapan ketiganya tidak harus berurut atau kaku dalam penerapannya.

Menariknya bahkan saya menilainya sebagai sesuatu yang menggemaskan yaitu saat menanyakan alasannya duduk saat apel pagi. Dia dengan polos menjawab bahwa saat apel pagi dirinya capek (lelah) karena semalaman belajar. Belajar A, B, C, katanya. Saya pun mencoba menstabilkan identitasnya dengan cara mendukung alasannya dengan mengatakan kepadanya bahwa sama dengan dirinya, saya pun akan beristirahat bila mengalami lelah. Namun, istirahat tersebut tentunya bisa kita kontrol berdasarkan kondisi dan situasinya. Setelah proses menstabilkan identitas, saya melanjutkan dengan proses menanyakan keyakinan (biasanya besifat peraturan) salah satunya tentang aturan saat apel pagi, harus dalam kondisi istrahat berdiri saat menerima pengarahan. Usai menanyakan keyakinan, saya melanjutkan dengan proses memvalidasi tindakan yang salah dengan mengajaknya membuat kesimpulan atas tindakannya. Memintanya menjawab, apakah tindakannya duduk saat apel pagi, sesuai dengan aturan dan ketetapan (keyakinan) sekolah atau tidak. Dia pun mengakui bahwa hal itu tidak sesuai dengan apa yang sering guru dan siswa harapkan (aturan/keyakinan).

Dengan mengakui kesalahan, diharapkan lahir motivasi intrinsik dalam dirinya untuk tidak melakukan kekeliruan itu lagi. Dengan cara humanis ini, anak merasa nyaman dan aman dalam proses menciptakan karakter disiplin yang lebih baik dan kuat pada dirinya tanpa harus merasa takut dan terancam.

Penasaran dengan bagaiman situasinya saat itu, silakan tonton videonya di video restitusi berikut Video Gemas Mendengar Alasannya

Selain peletakan kamera dan tripod, dalam video ini bebas dari skenario dan teks untuk audionya. Termasuk saat melakukan refleksi, meminta tanggapan sang anak setelah proses restitusi.

Kamis, 01 Oktober 2020

Internalisasi Nilai-nilai Pancasila Melalui Pembelajaran Dinamis Kontekstual Berbasis STEAMEC Sebagai Adaptasi Kebiasaan Baru Pembelajaran di Daerah 3T

  

Oleh: Edi Arham, S.Pi., M.Pd.

Guru SD Negeri Lalowata, Kec. Latoma, Konawe, Sulawesi Tenggara

 

Pendahuluan

Pancasila merupakan dasar negara yang wajib menjadi kausa dari seluruh sumber hukum di Indonesia. Sebagai falsafah bangsa, Pancasila idealnya menjadi pedoman penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya lahir dari kultur Bhinneka Tunggal Ika yang luhur dan mulia. Keluhuran nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan sejak dini dan berkelanjutan agar mengakar dan menjadi kepribadian seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, sisi lain dari perkembangan zaman dan globalisasi dapat menggeser dan menggerus norma dan kultur yang berlaku di tengah masyarakat, termasuk nilai-nilai pancasila yang telah lama menjadi pedoman dan pemersatu bangsa indonesia. 

Mengamalkan Pancasila secara utuh menjadi upaya nyata menciptakan kehidupan yang berketuhanan, berperikamanusiaan, bersatu, berkerakyatan, dan berkeadilan. Untuk itu dibutuhkan upaya serius dalam menanamkan nilai-nilai pancasila sejak dini dan berkelanjutan. Salah satunya dapat dilakukan oleh guru melalui aktivitas pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Tugas tersebut tidak hanya menjadi tugas guru yang mengajar mata pelajaran PPKn atau materi yang berhubungan dengan Pancasila, tetapi semua guru dapat mengambil peran di dalamnya. Hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri yang merupakan norma dan kultur yang berasal dari kebiasaan positif masyarakat Indonesia. Oleh karena menjadi kebiasaan, nilai-nilai Pancasila mudah diintegrasikan ke dalam mata pelajaran atau materi pelajaran apa saja. Hanya saja dalam implementasinya dibutuhkan niat dan strategi yang tepat dan efektif. Ibarat gula yang bisa dimasukkan ke dalam berbagai minuman, Pancasila dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran atau materi pelajaran apapun. Namun, berapa kadar dan bagaimana cara mengintegrasikannya? Masing-masing gurulah yang mengatur agar seimbang dan efektif.

Mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam pembelajaran seyogianya tidak  mengejar pencapaian aspek kognitif (pengetahuan) semata, tetapi yang lebih penting adalah pencapaian aspek afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) yang tercermin dalam pengamalan atau implementasi. Bila membandingkan antara pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas dengan di luar kelas, pencapaian aspek afektif dan psikomotorik akan lebih mudah tercapai apabila pembelajaran dilakukan di luar kelas. Dengan demikian, di masa pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19) sekarang ini menjadi momen yang tepat dalam mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam pembelajaran, khususnya bagi guru yang berada di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Akibat Covid-19 dan ketiadaan akses internet, guru dituntut melakukan pembelajaran luring (luar jaringan) dengan cara mengunjungi siswa di rumahnya atau di mana saja siswa itu berada. Saat berkunjung itulah, guru harus bisa beradaptasi dengan kondisi siswa dan lingkungan sekitarnya. Demikian pula pembelajaran yang akan dilakukan, sedapat mungkin mata pelajaran, materi pembelajaran, dan aktivitas pembelajaran menyesuaikan kondisi siswa saat itu. Keadaan dan lingkungan sekitar siswa harus bisa dijadikan sebagai pendukung pembelajaran.

Menyesuaikan mata pelajaran, materi pembelajaran, dan aktivitas pembelajaran dengan kondisi siswa dan lingkungan sekitar rumahnya, awalnya mungkin akan terasa berat bagi guru. Hal ini tidak terlepas dari prevalensi guru yang terbiasa melaksanakan aktivitas pembelajaran yang terencana dan terukur. Namun, seiring berjalannya waktu, pembelajaran yang oleh penulis diberi nama “pembelajaran dinamis kontekstual” akan terasa ringan dan menyenangkan bagi guru dan siswa. Selain menyenangkan, pembelajaran dinamis kontekstual yang telah diimplementasikan oleh penulis dan guru-guru di SD Negeri Lalowata sangat mendukung pembelajaran berbasis STEAM (Science/sains, Technology/teknologi, Engineering/teknik, Arts/seni dan Mathematics/matematika). Selanjutnya, penulis yang berstatus sebagai guru di daerah 3T mengintegrasikan dua muatan lain yaitu Ecology/lingkungan dan Character/karakter sehingga STEAM menjadi STEAMEC. Penambahan muatan lingkungan dan karakter didasari oleh ancaman kelestarian lingkungan dan krisis karakter yang terjadi di tengah masyarakat. Kedua ancaman tersebut tanpa disadari sangat dipengaruhi oleh sejauh mana masyarakat mengamalkan nilai-nilai Pancasila.


Strategi Pembelajaran Dinamis Kontekstual pada masa pandemi Covid-19

Tanggal 2 Maret 2020, pandemi Covid-19 terdeteksi mulai mewabah di Indonesia. Dua warga negara Indonesia terkonfirmasi terpapar Covid-19. Dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 sangat luas dan signifikan ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu sektor yang paling terdampak adalah bidang pendidikan. Untuk menghindarkan warga di satuan pendidikan dari paparan Covid-19, pada tanggal 9 Maret pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pencegarhan Covid-19 pada Satuan Pendidikan. Melihat jumlah penyebaran Covid-19 yang semakin meningkat, pada tanggal 24 Maret, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kembali mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Dalam surat edaran itu, pemerintah memberhentikan aktivitas pembelajaran di sekolah dan menginstruksikan dimulainya pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pemerintah menganjurkan guru dan siswa melakukan aktivitas pembelajaran dari rumah melalui jaringan internet atau dalam jaringan (daring). Namun, pembelajaran daring tersebut tidak dapat dilaksanakan di daerah 3T karena  tidak tersedianya fasilitas internet.

Tidak tersedianya jaringan internet di daerah 3T sangat mempengaruhi keberlanjutan pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa. Pemerintah termasuk guru-guru di daerah 3T berupaya mencari cara pembelajaran yang tepat agar siswa tetap mendapat hak untuk belajar. Upaya pencegahana penularan Covid-19 melalui pembatasan sosial yang dilanjutkan dengan pembatasan fisk menjadi pertimbangan dalam memilih cara pembelajaran. Salah satu cara pembelajaran yang dinilai paling minim resiko, tidak mengumpulkan siswa  dalam jumlah banyak, dan dinilai efektif yaitu guru mengunjungi siswa di rumahnya atau disebut program guru kunjung. Hanya saja dalam pelaksanaannya, program guru kunjung menemui beberapa kendala sehingga dibutuhkan strategi yang tepat agar program guru kunjung benar-benar efektif dilaksanakan.

Kendala-kendala yang dihadapi guru dalam program kunjung tidak terlepas dari kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat di daerah 3T. Kendala yang dimaksud: (1) Jarak dan sebaran rumah siswa berjauhan dan heterogen; (2) Perbandingan jumlah guru dengan keragaman kondisi siswa tidak seimbang: dan (3) Kebiasaan orang tau siswa yang melibatkan anaknya dalam usaha pemenuhan kebutuhan ekonomi. Untuk menanggulangi kendala-kendala tersebut, guru dituntut melakukan pembelajaran yang dinamis, tidak terikat pada prosedur tetap (protap) seperti pada pembelajaran normal di kelas.

Jarak dan sebaran rumah siswa di daerah 3T berjauhan dan heterogen. Untuk itu dalam satu kali kunjungan, guru harus bisa memberikan pembelajaran kepada siapa saja siswa yang ditemui dalam jalur perjalanannya. Tidak hanya siswa yang menjadi perwaliannya atau setingkat dengan perwaliannya. Demikian pula dengan guru lain yang berkunjung pada jalur perjalanan berbeda, memberikan pembelajaran kepada siswa yang dia temui. Hal ini untuk mengefektifkan waktu dan tenaga dalam sekali perjalanan. Bila guru hanya fokus pada siswa perwaliannya tentu akan terasa berat karena rumah masing-masing perwaliannya tersebar di jalur yang berbeda. Selain itu, beberapa siswa tidak akan mendapat pelajaran atau memerlukan waktu cukup lama untuk mendapat pembelajaran kembali karena harus menunggu giliran lagi. Dengan cara ini, kendala tidak seimbangnya perbandingan jumlah guru dengan keragaman kondisi siswa, juga dapat ditanggulangi karena antara satu guru dengan guru lainnya saling mengisi dan mengajar siswa perwalian guru lainnya.

Kebiasaan orang tau siswa yang melibatkan anaknya dalam usaha pemenuhan kebutuhan ekonomi juga menjadi kendala. Siswa terkadang dilibatkan bekerja di kebun,, ladang, dan hutan sehingga saat guru berkunjung, siswa tidak berada di rumah. Untuk itu guru harus lebih dinamis menghadapi masalah ini. Guru dituntut mampu memberikan pelajaran di mana saja siswa itu berada. Bahkan ketika guru menemui siswanya sedang bermain bersama teman-temannya di suatu tempat, maka dia dapat melakukan pembelajaran di tempat tersebut. Guru tidak mengajak siswa pulang ke rumahnya untuk belajar, tetapi langsung memberikan pembelajaran secara berkelompok. Mata pelajaran, materi pelajaran, dan tingkatan kelas tidak menjadi pertimbangan utama. Guru hanya melihat aktivitas dan lingkungan sekitar siswa yang kemungkinan dapat digunakan sebagai pendukung pembelajaran saat itu. Dapat pula menghubungkan materi pelajaran yang diberikan dengan situasi saat itu. Tujuannya agar seluruh siswa yang ada dapat memperoleh hak belajar,  pembelajaran yang diterima lebih kontekstual, dan mudah memahami pembelajaran diberikan.  

Seperti telah disebutkan sebelumnya, pembelajaran dinamis kontekstual akan terasa berat di awal-awal pelaksanaan. Hal ini disebabkan oleh syarat: guru harus menguasai dan memahami garis-garis besar materi pelajaran yang ada di sekolah dasar, mulai kelas 1 sampai kelas 6. Paling tidak, guru mengetahui dan membedakan kelompok kompetensi dasar esensial kelas rendah (kelas 1, 2 dan 3) dengan kelompok kompetensi dasar esensial kelas atas (kelas 4, 5 dan 6). Bila syarat tersebut belum bisa dipenuhi, dapat pula dilakukan dengan cara memberikan materi pelajaran yang bersifat umum termasuk menanamkan pemahaman dan praktik pengamalan nilai-nilai pancasila. Namun, pelajaran umum ataupun nilai-nilai pancasila yang diberikan harus tetap berhubungan dengan lingkungan sekitar siswa saat itu (kontekstual). Selain itu, sebelum memberikan pembelajaran, guru terlebih dahulu melakukan apersepsi agar dapat mengetahui kemampuan awal siswa terhadap pelajaran yang akan diberikan.

 

Pembelajaran Berbasis STEAMEC di Daerah 3T

Pembelajaran berbasis STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts dan Mathematics) merupakan pendekatan pembelajaran yang diadopsi untuk menyiapkan siswa memiliki keterampilan abad 21. Pemerintah menganjurkan satuan pendidikan agar melakukan aktivitas pembelajaran berbasis STEAM agar kompetensi lulusannya memiliki pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan mewujudkan cita-cita bangsa, serta mampu bersaing di era globalisasi. Ironisnya, banyak pihak termasuk sebagian guru masih beranggapan bahwa pembelajaran yang menggunakan pendekatan atau berbasis STEAM sulit diterapkan di daerah 3T. Hal tersebut didasari pemikiran bahwa daerah 3T tidak terfasilitasi oleh jaringan internet bahkan jaringan listrik sehingga tidak menunjang penggunaan media pembelajaran TIK (teknologi informasi dan komunikasi). Seperti saat pandemi Covid-19 ini, pembelajaran daring tidak dapat dilakukan di daerah 3T.

Selain kendala fasilitas, guru juga merasa kesulitan mengintegrasikan kelima muatan ilmu STEAM ke dalam pembelajaran yang berlatar ilmu sosial. Hal ini disebakan oleh pemikiran bahwa kelima muatan ilmu yang ada dalam STEAM, semuanya harus dimasukkan dalam setiap pembelajaran. Ditambah lagi adanya pemikiran bahwa pembelajaran berbasis STEAM harus berorientasi produk melalui proyek yang harus diselesaikan siswa dalam jangka waktu tertentu.  Pemikiran-pemikiran tersebut tidak sejalan dengan pendapat Hank (2019) yang menyatakan bahwa lima basis ilmu dalam STEAM tidak harus masuk secara keseluruhan dalam pembelajaran, tetapi dapat pula hanya mengintegrasikan sebagian muatan saja. Selain itu, STEAM juga tidak selalu harus berorientasi produk yang mengarah pada lima muatan dalam STEAM, tetapi lima basis ilmu tersebut dapat pula menjadi konten pembelajaran maupun pendukung pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran berbasis STEAM dapat digunakan pada mata pelajaran apapun termasuk mata pelajaran sosial.

Selanjutnya, bagaimana dengan posisi muatan ilmu Ecology (lingkungan) dan Charcter (karakter)? Mengapa harus ikut diintegrasikan? Sehingga berkembang menjadi pembelajaran berbasis STEAMEC. Pengembangan pembelajaran berbasis STEAMEC oleh penulis didasarkan pada pertimbangan bahwa ancaman kelestarian lingkungan dan krisis karakter menjadi isu penting yang harus dibenahi saat ini. Kelestarian lingkungan di daerah 3T masih cukup terjaga sehingga menjadi cara tepat bila dalam pembelajaran selalu ditanamkan ke siswa prinsip-prinsip menjaga lingkungan agar tetap lestari. Demikian pula dengan krisis karakter yang melanda masyarakat, sedapat mungkin dapat ditanggulangi dengan cara selalu mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam tiap pembelajaran. Upaya menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan karakter masyarakat sangat erat kaitannya dengan pengamalan nilai-nilai pancasila. Untuk itu sangat tepat bila internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam pembelajaran dilakukan dengan menggunakan pendekatan berbasis STEAMEC.


Praktik Penanaman Nilai-nilai Pancasila dalam

Pembelajaran Dinamis Kontekstual Berbasis STEAMEC

Menetapkan berapa jumlah nilai yang dikandung dalam Pancasila serta apa saja bentuk pengamalannya, tentunya bukanlah pekerjaan yang mudah. Pada masa orde baru, nilai-nilai Pancasila identik dengan 45 butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Namun bila dikaji lebih dalam, nilai-nilai Pancasila tidak hanya sebatas 45 butir tersebut. Terlepas dari jumlah dan bentuk pengamalannya yang jumlahnya tidak sedikit, penulis berkeyakinan bahwa seluruh nilai-nilai Pancasila dapat ditanamkan ke dalam pembelajaran. Penanaman nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan melalui satu mata pelajaran saja yaitu PKn maupun mata pelajaran lain atau secara tematik. Termasuk melalui pendekatan berbasis STEAMEC, apalagi bila pembelajaran yang dilakukan menggunakan strategi dinamis kontekstual. Sangat banyak contoh upaya menanamkan nilai-nilai pancasila melalui pembelajaran dinamis kontekstual berbasis STEAMEC.

Contoh pertama melalui metode belajar sambil bermain. Ketika melakukan kunjungan dan menemui kelompok siswa yang sedang bermain lompat tali, bermain dinggo (engrang), dan bermain hule (gasing), penulis langsung menjadikan permainan-permainan tersebut sebagai alat dan media pembelajaran. Dari permainan lompat tali misalnya, penulis bisa mengajarkan berbagai materi pembelajaran. Mulai pelajaran penjaskes, materi pelajaran matematika: pengolahan data, pengukuran, dan penggunaan meter, hingga materi pelajaran sains yaitu wujud benda dan sumber daya alam. Termasuk Muatan pelajaran seni dan penggunaan teknologi yaitu cara mengunakan teknologi ponsel dan mengambil video dan gambar foto yang baik serta materi pelajaran tentang lingkungan dan kesehatan yaitu tidak bermain di tempat yang berdebu. Sementara untuk muatan pendidikan karakter dan penanaman nilai Pancasila yaitu memberikan pemahaman cara pengamalan tentang disiplin,, taat pada peraturan yang telah disepakati, tidak culas, menghargai orang lain, dan kebersamaan.

Contoh kedua menghubungkan aktivitas siswa dan orang tuanya dengan materi pelajaran. Saat mengunjungi siswa yang berada di kebun membantu orang tuanya, penulis mengajarkan materi pelajaran yang ada hubungannya dengan kebun siswa. Muatan pembelajarannya yaitu tentang luas, penjumlahan dan pengurangan, perkembangbiakan tumbuhan, kegiatan ekonomi, pencegahan pengrusakan hutan, dan perpindahan panas. Penanaman nilai-nilai Pancasila yang dapat diintegrasikan yaitu: kepedulian, membantu dan menghargai orang tua, serta cinta tanah air, dan kedaulatan bangsa.

Contoh ketiga berbagi pengalaman antara guru dan siswa. Penulis menceritakan sekaligus menunjukkan video perjalanan saat menuju ke sekolah. Cerita dan video yang berisi perjuangan seorang teman guru yang putus rantai roda motornya menjadi obyek pelajaran. Dari cerita dan video, penulis mengajarkan materi pelajaran jarak, kecepatan, sifat-sifat benda, alat transportasi, manfaat dan keguanaan sumber daya alam, serta materi pribahasa  dan ungkapan. Muatan nilai-nilai pancasila yang disisipkan yaitu: tolong menolong, menghormati keberagaman, persatuan, dan cinta terhadap lingkungan.

Contoh keempat memanfaatkan video atau film pendek berisi konten pendidikan karakter. Saat berkunjung, guru sengaja membawa media pembelajaran gawai atau laptop berisi video atau film pendek sebagai media pembelajaran. Dari konten yang ditayangkan,,  guru menghubungkan isi tayangan dan amanat yang terkandung didalamnya dengan kondisi nyata di sekitar siswa. Misalnya, membandingkan lingkungan tandus dan rusak yang ada dalam tayangan dengan lingkungan sekitar siswa yang masih asri. Menunjukkan bagaimana sikap toleransi antara umat beragama, saling menghargai antara suku, dan beberapa sikap intoleran yang tidak boleh diteladani.

 

Asesemen Pembelajaran dan Evaluasi  Aktivitas Pembelajaran

Untuk mengetahui keberhasilan setiap aktivitas pembelajaran dibutuhkan evaluasi yang dilakukan oleh guru dan sekolah. Evaluasi yang dilakukan berupa penilaian terhadap kemampuan siswa akan materi pembelajaran yang telah diajarkan dan evaluasi terhadap proses atau aktivitas pembelajaran yang telah dilakukan guru. Sama dengan pada masa normal, penilaian terhadap kemampuan siswa dilakukan melalui asesmen formatif dan asesmen sumatif. Evaluasi terhadap proses atau aktivitas pembelajaran dilakukan terhadap kepraktisan dan efektifitas pembelajaran dinamis kontekstual berbasis STEAMEC.

Dalam pembelajaran dinamis kontekstual, asesmen formatif dilakukan pada saat proses pembelajaran atau akhir setiap satu kali pembelajaran. Asesmen formatif dilakukan guru yang melakukan kunjungan terhadap semua siswa, tidak hanya pada siswa perwaliannya saja. Untuk menunjang laporan penilaiannya, guru kunjung diwajibkan membuat jurnal kunjungan yang nantinya akan diberikan kepada masing-masing wali kelas atau guru kelas. Jurnal berisi tentang waktu dan tempat pelaksanaan, siswa yang mengikuti, materi yang telah diberikan, kompetensi yang telah dicapai, dan hal-hal lain yang terkait dengan proses pembelajaran dalam sekali kunjungan. Sementara itu, Asesmen sumatif yang dilakukan pada akhir kurun waktu pembajaran, dilaksanakan oleh guru kelas atau wali kelas masing-masing. Selain hasil tes sumatif, guru kelas atau wali kelas juga menggunakan hasil asesmen guru lain yang melakukan asesmen formatif terhadap siswa perwaliannya.

Sebagai strategi pembelajaran yang baru dikembangkan, pembelajaran dinamis kontekstual sangat membutuhkan evaluasi terhadap keberhasilannya. Secara sederhana, keberhasilan pembelajaran dinamis kontekstual dapat dilihat dari kepraktisan dalam pelaksanaannya. Selain itu dapat pula dilihat dari efektifitasnya, diukur dari sejauh mana keberhasilan siswa mencapai kompetensi yang diinginkan. Berdasarkan penilaian penulis serta guru-gura dan kepala sekolah SD Negeri Lalowata, pembelajaran dinamis kontekstual sangat praktis dan efektif dilaksanakan pada masa pandemi Covid-19 ini, bila dibandingkan dengan startegi pembelajaran lain. Terlebih pula dalam upaya menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap pembelajaran, pembelajaran dinamis kontekstual sangat praktis dan efektif digunakan.    

 

Penutup

Tak satupun strategi pembelajaran yang efektif dilaksanakan di semua kondisi wilayah pada masa pandemi Covid-19. Satu strategi pembelajaran yang dianggap efektif di wilayah tertentu, bisa saja kurang efektif di wilayah lain atau bahkan tidak bisa diimplementasikan. Hal tersebut tidak terlepas dari kondisi bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan geografis, sosial, ekonomi, dan fasilitas pembangunan yang dimiliki masyarakat menjadi daya dukung keberhasilan pelaksanaan strategi pembelajaran tertentu. Masing-masing wilayah memiliki keunikan tertentu sehingga harus menjadi pertimbangan pemilihan strategi pembelajaran. Demikian pula yang telah dilakukan penulis dan guru-guru SD Negeri Lalowata. Kondisi geografis dan keunikan sosial masyarakat menjadi pertimbangan pemilihan strategi pembelajaran dinamis kontekstual dalam pembelajaran masa Covid-19. Pembelajaran ini bersifat terbuka dan akomodatif sehingga sangat sesuai dengan prinsip utama pembelajaran di masa Covid-19 yaitu tidak membahayakan dan realistis seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020.

Beberepa poin penting dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 yang sesuai dengan pembelajaran dinamis kontekstual berbasis STEAMEC yaitu:

1.       Aktivitas pembelajaran dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa.

2.       Guru tidak dituntut menuntaskan seluruh capaian kurikulum dalam menentukan kelayakan siswa naik kelas atau lulus.

3.       Dalam melaksanakan pembelajaran, guru memberikan variasi dalam aktivitas proses pembelajaran, pemberian tugas, dan pelaksanaan asesmen.

4.       Guru dan sekolah mempertimbangkan kesenjangan akses atau fasilitas belajar yang dimiliki siswa.

5.       Guru memberikan umpan balik terhadap setiap bukti atau produk yang dihasilkan siswa tanpa harus dalam bentuk skor/nilai.

6.       Memusatkan materi pembelajaran yang erat hubungannya dengan kecakapan hidup antara lain tentang pandemi Covid-19. Pada poin ini, penanaman nilai-nilai pancasila dan pendidikan karakter sangat tepat diberikan.

Pada pembelajaran dinamis kontekstual berbasis STEAMEC dibutuhkan kemauan (niat) dan kemampuan guru dalam upaya menanamkan nilai-nilai Pancasila. Niat yang dimaksud adalah komitmen guru untuk menyisipkan muatan nilai-nilai pancasila dalam setiap menyampaikan mata pelajaran atau materi pembelajaran apapun. Niat harus dibarengi dengan kemampuan guru dalam memilah muatan nilai-nilai Pancasila yang sesuai dengan materi pembelajaran serta kondisi siswa dan lingkungan pendukung saat pembelajaran. Termasuk memilih cara yang tepat agar proses penanaman nilai-nilai Pancasila berjalan halus, tidak mencolok tetapi hasilnya efektif. Niat dan kemampuan harus beriringan, tidak bisa berjalan sendiri. Niat tanpa kemampuan akan sulit terwujud, demikian pula sebaliknya. Namun yang perlu didahulukan adalah niat sebab kemampuan biasanya akan hadir dengan sendirinya setelah niat untuk menanamkan nilai-nilai pancasila telah lahir kemudian dilakukan.

 





 

Daftar pustaka

Surat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pencegahan Corona Virus Disease (Covid-19) Pada SatuanPendidikan

Surat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19)

Hank. 2019. Laporan Shortcourse Guru Berprestasi di Belanda Tahun 2019.  

Tim GTK Dikdas, 2020. Pembelajaran Jarak Jauh Selama Masa Pandemi http://pgdikdas.kemdikbud.go.id/read-news/pembelajaran-jarak-jauh-selama-masa-pandemi (Diakses tanggal 20 September 2020)