Pencerahan..: Tindak Lanjut Diklat IN GP..
Assalamualaikum
Beberapa info tentang Guru Pembelajar (GP) .. .
1.Guru pembelajar ada dibawah naungan P4TK
2. Setiap Guru wajib membuka akun registrasi guru pembelajar untuk mengetahui rapot yg masih merah..
2. P4TK secara serentak di seluruh Indonesia akan mulai membuka
pendaftaran kelas untuk guru pembelajar pada tanggal 5 sept - 10 sept
2016
3. Pelaksanaan kelas pembelajaran dimulai pada tanggal 15 september - 30 Oktober 2016.
4. Langkah pembelajaran terbagi setiap sesi dan harus diselesaikan satu persatu
4. Awal November sudah membuat laporan
5. Di akhir pembelajaran setiap guru akan menerima sertifikat guru pembelajar secara langsung (apabila sudah lulus)
6. Untuk lebih jelasnya boleh ditanyakan kepada ketua MGMP masing".
7. MGMP sebagai pelaksana fasilitator guru pembelajar
[2/9 02.16] +62 811-6681-471: [31/8 14.33] *TENTANG GURU PEMBELAJAR*
Mungkin bs untuk nambah informasi*
Nilai Tinggi Kok Merah, Nilai Rendah Kok Hitam, Mengapa…??
BNI Lepo-lepo Tolak Koin Rp 500 dan Rp 1000
Pagi tadi (3/8/16) sekitar pukul 08.40 WITA, saya mengantar putra saya yang duduk di kelas II SD, ke Bank BNI Lepo-lepo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Tujuannya untuk menambah saldo di buku tabungan SIMPEL (Simpanan Pelajar) BNI miliknya. Kebetulan beberapa hari sebelumnya, putra saya membuka celengan koinnya yang telah dikumpulkannya beberapa bulan, dan Alhamdulillah berisi sekitar Rp 400 ribu.
Saat membuka celengannya itu, putra saya kemudian berkata akan memasukkan uang tersebut ke tabungan SIMPEL miliknya agar jumlahnya cepat bertambah banyak dan keinginannya untuk membeli sepeda baru cepat tercapai. Saya kemudian menjawab keinginan putra saya dengan mengatakan bahwa bila ingin ditabung di Bank, koin-koin tersebut hendaknya dipisahkan dan disusun rapi sesuai nominalnya dan memintanya untuk mengambil yang koin nominal Rp 500 dan Rp 1000 saja dan menyisihkan koin nominal Rp 200 dan Rp 100. Setelah koin Rp 500 dan Rp 1000 dipisahkan, selanjutnya kami bungkus secara rapi menggunakan selotif bening, masing masing Rp 10 ribu setiap bungkusnya dengan tujuan untuk memudahkan pihak bank saat menghitungnya, dan saat itu terkumpul sebanyak Rp 350 ribu,
Setelah mengantri cukup lama, sekitar pukul 10.00 WITA, tiba giliran nomor antrian kami dipanggil oleh teller. Dengan perasaan gembira, karena telah tiba gilirannya, putra kami kemudian menuju teller didampingi ibunya. Tapi apa yang terjadi kemudian sangat tidak kami harap dan bayangkan sebelumnya. Teller di Bank milik pemerintah itu menolak uang koin yang dibawa putra kami tersebut, untuk disetorkan kedalam tabungan SIMPEL miliknya. Dari kursi belakang dengan jelas saya melihat kesedihan dan kekecewaan putra saya sehingga saya berinisiatif maju ke teller untuk mempertanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Teller perempuan yang menerima putra saya awalnya ragu menjawab pertanyaan yang saya sampaikan dan meminta pendapat dari teller laki-laki yang berada disampingnya. Teller laki-laki itu kemudian menjawab bahwa itu sudah merupakan kebijakan bank dan mengarahkan kami menukarkan dulu ke swalayan atau toko-toko yang menurutnya banyak membutuhkan uang koin.
Karena tidak ingin membuat putra kami kecewa, kami kemudian menabung menggunakan pecahan kertas dengan jumlah yang sama. saat itu saya hendak berdebat lebih jauh dengan sang teller namun mengingat bahwa putra saya harus masuk sekolah pada saat itu juga, pukul 10.00 WITA, maka saya urungkan niat tersebut.
Dalam perjalanan pulang menuju ke sekolahnya, putra saya yang sejak dari teller terdiam terus mungkin akibat perasaan kecewaannya, tiba-tiba bertanya, “Ayah kenapa uang koinku tidak diterima?, tidak lakumika uang begitu?, padahal di sekolahku masih dipakeji beli nasi kuning”. Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk saya jawab langsung termasuk ibunya, karena pertanyaan itu sebenarnya ada juga dalam pikiran kami saat itu. Setelah cukup lama terdiam, saya kemudian mencoba memberikan jawaban sekenaknya saja dengan mengatakan “Petugasnya nda tau hitung uang koin nak, apalagi jumlahnya agak banyak”. Dia kemudian diam mencoba mencerna dan mahami jawaban yang saya berikan. Untung sekolahnya berada tidak jauh dari Bank BNI sehingga ketika dia hendak mengomentari jawabanku tadi, kami telah tiba di depan sekolahnya.
Dari kejadian ini, beberapa hal yang mengganjal dalam hati dan pikiran saya serta ingin saya bagi dengan saudara-saudari warga Sultra Watch dalam bentuk pendapat dan pencerahan, diantaranya:
1. Apa memang transakasi di Bank-bank, utamanya milik pemerintah tidak boleh menggunakan pecahan koin Rp 500 dan Rp 1000. Kalau memang tidak bisa, apa tidak sebaiknya pecahan koin tersebut ditarik saja dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Untuk ukuran orang dewasa, pecahan koin Rp 500 dan Rp 1000 mungkin sangat kecil, tapi bagi anak-anak usia SD apalagi anak-anak dari keluarga yang tingkat ekonominya dibawah rata-rata seperti kami, koin tersebut masih sangat berarti sehingga tentu akan sangat menyinggung perasaaan saat ada pihak yang menyepelekannya.
3. Saat dipromosikan pertama kali di sekolah putra kami, dikatakan, Tabungan SIMPEL diperuntukkan bagi pelajar SD hingga SMA dengan jumlah setoran berikutnya, minimal Rp 5000 dan tidak pernah dibatasi menggunkan pecahan tertentu selama pecahan tersebut masih berlaku menurut UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
4. Bagaimana perasaan orang tua yang telah berupaya keras menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter (hidup hemat dan gemar menabung) sejak dini dengan cara mengajarkan putra-putrinya menyisihkan uang jajan yang diberikan, dalam bentuk celengan koin, tapi kemudian koin-koin tersebut seakan tidak memiliki nilai apa-apa saat seorang anak hendak menyetorkannya ke Bank.
5. Kepada pihak Bank BNI, apabila benar transakasi menggunakan pecahan koin tidak bisa dilakukan di Bank BNI, apa tidak sebaiknya membuat sebuah pengumuman tentang hal tersebut, kemudian dipampang di pintu masuk sehingga nasabah mengetahuinya lebih awal dan tidak perlu menunggu pelayanan/antrian yang cenderung lama diberikan oleh teller.
6. Akibat kejadian-kejadian seperti ini telah mendorong semakin banyaknya pihak yang enggan menggunakan uang koin dalam taransaksi jual beli. Seperti yang dikemukakan oleh pihak BI beberapa waktu lalu di sebuah media cetak, sehingga membuat pengumuman akan memberikan sanksi bagi pihak yang menolak pembayaran menggunakan koin.
7. Kami juga menyayangkan sikap teller BNI yang menyuruh kami menukarkan koin tersebut ke swalayan, padahal saat itu tujuan kami bukan untuk menukar uang pecahan koin tersebut dengan pecahan uang kertas agar lebih mudah dimasukkan ke dompet, tetapi untuk mengajarkan putra kami bagaiman cara hidup hemat dan gemar menabung sekaligus menunjukkan langsung cara bertransaksi Tabungan SIMPEL di Bank.
8. Siapa yang harus disalahkan ketika putra kami saat berada di sekolah kemudian bercerita atau memberikan informasi kepada teman-temanya atau bahkan kepada guru-gurunya, bila uang koin pecahan Rp 500 dan Rp 1000 sudah tidak laku di Bank.
Pagi tadi (3/8/16) sekitar pukul 08.40 WITA, saya mengantar putra saya yang duduk di kelas II SD, ke Bank BNI Lepo-lepo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Tujuannya untuk menambah saldo di buku tabungan SIMPEL (Simpanan Pelajar) BNI miliknya. Kebetulan beberapa hari sebelumnya, putra saya membuka celengan koinnya yang telah dikumpulkannya beberapa bulan, dan Alhamdulillah berisi sekitar Rp 400 ribu.
Saat membuka celengannya itu, putra saya kemudian berkata akan memasukkan uang tersebut ke tabungan SIMPEL miliknya agar jumlahnya cepat bertambah banyak dan keinginannya untuk membeli sepeda baru cepat tercapai. Saya kemudian menjawab keinginan putra saya dengan mengatakan bahwa bila ingin ditabung di Bank, koin-koin tersebut hendaknya dipisahkan dan disusun rapi sesuai nominalnya dan memintanya untuk mengambil yang koin nominal Rp 500 dan Rp 1000 saja dan menyisihkan koin nominal Rp 200 dan Rp 100. Setelah koin Rp 500 dan Rp 1000 dipisahkan, selanjutnya kami bungkus secara rapi menggunakan selotif bening, masing masing Rp 10 ribu setiap bungkusnya dengan tujuan untuk memudahkan pihak bank saat menghitungnya, dan saat itu terkumpul sebanyak Rp 350 ribu,
Setelah mengantri cukup lama, sekitar pukul 10.00 WITA, tiba giliran nomor antrian kami dipanggil oleh teller. Dengan perasaan gembira, karena telah tiba gilirannya, putra kami kemudian menuju teller didampingi ibunya. Tapi apa yang terjadi kemudian sangat tidak kami harap dan bayangkan sebelumnya. Teller di Bank milik pemerintah itu menolak uang koin yang dibawa putra kami tersebut, untuk disetorkan kedalam tabungan SIMPEL miliknya. Dari kursi belakang dengan jelas saya melihat kesedihan dan kekecewaan putra saya sehingga saya berinisiatif maju ke teller untuk mempertanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Teller perempuan yang menerima putra saya awalnya ragu menjawab pertanyaan yang saya sampaikan dan meminta pendapat dari teller laki-laki yang berada disampingnya. Teller laki-laki itu kemudian menjawab bahwa itu sudah merupakan kebijakan bank dan mengarahkan kami menukarkan dulu ke swalayan atau toko-toko yang menurutnya banyak membutuhkan uang koin.
Karena tidak ingin membuat putra kami kecewa, kami kemudian menabung menggunakan pecahan kertas dengan jumlah yang sama. saat itu saya hendak berdebat lebih jauh dengan sang teller namun mengingat bahwa putra saya harus masuk sekolah pada saat itu juga, pukul 10.00 WITA, maka saya urungkan niat tersebut.
Dalam perjalanan pulang menuju ke sekolahnya, putra saya yang sejak dari teller terdiam terus mungkin akibat perasaan kecewaannya, tiba-tiba bertanya, “Ayah kenapa uang koinku tidak diterima?, tidak lakumika uang begitu?, padahal di sekolahku masih dipakeji beli nasi kuning”. Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk saya jawab langsung termasuk ibunya, karena pertanyaan itu sebenarnya ada juga dalam pikiran kami saat itu. Setelah cukup lama terdiam, saya kemudian mencoba memberikan jawaban sekenaknya saja dengan mengatakan “Petugasnya nda tau hitung uang koin nak, apalagi jumlahnya agak banyak”. Dia kemudian diam mencoba mencerna dan mahami jawaban yang saya berikan. Untung sekolahnya berada tidak jauh dari Bank BNI sehingga ketika dia hendak mengomentari jawabanku tadi, kami telah tiba di depan sekolahnya.
Dari kejadian ini, beberapa hal yang mengganjal dalam hati dan pikiran saya serta ingin saya bagi dengan saudara-saudari warga Sultra Watch dalam bentuk pendapat dan pencerahan, diantaranya:
1. Apa memang transakasi di Bank-bank, utamanya milik pemerintah tidak boleh menggunakan pecahan koin Rp 500 dan Rp 1000. Kalau memang tidak bisa, apa tidak sebaiknya pecahan koin tersebut ditarik saja dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Untuk ukuran orang dewasa, pecahan koin Rp 500 dan Rp 1000 mungkin sangat kecil, tapi bagi anak-anak usia SD apalagi anak-anak dari keluarga yang tingkat ekonominya dibawah rata-rata seperti kami, koin tersebut masih sangat berarti sehingga tentu akan sangat menyinggung perasaaan saat ada pihak yang menyepelekannya.
3. Saat dipromosikan pertama kali di sekolah putra kami, dikatakan, Tabungan SIMPEL diperuntukkan bagi pelajar SD hingga SMA dengan jumlah setoran berikutnya, minimal Rp 5000 dan tidak pernah dibatasi menggunkan pecahan tertentu selama pecahan tersebut masih berlaku menurut UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
4. Bagaimana perasaan orang tua yang telah berupaya keras menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter (hidup hemat dan gemar menabung) sejak dini dengan cara mengajarkan putra-putrinya menyisihkan uang jajan yang diberikan, dalam bentuk celengan koin, tapi kemudian koin-koin tersebut seakan tidak memiliki nilai apa-apa saat seorang anak hendak menyetorkannya ke Bank.
5. Kepada pihak Bank BNI, apabila benar transakasi menggunakan pecahan koin tidak bisa dilakukan di Bank BNI, apa tidak sebaiknya membuat sebuah pengumuman tentang hal tersebut, kemudian dipampang di pintu masuk sehingga nasabah mengetahuinya lebih awal dan tidak perlu menunggu pelayanan/antrian yang cenderung lama diberikan oleh teller.
6. Akibat kejadian-kejadian seperti ini telah mendorong semakin banyaknya pihak yang enggan menggunakan uang koin dalam taransaksi jual beli. Seperti yang dikemukakan oleh pihak BI beberapa waktu lalu di sebuah media cetak, sehingga membuat pengumuman akan memberikan sanksi bagi pihak yang menolak pembayaran menggunakan koin.
7. Kami juga menyayangkan sikap teller BNI yang menyuruh kami menukarkan koin tersebut ke swalayan, padahal saat itu tujuan kami bukan untuk menukar uang pecahan koin tersebut dengan pecahan uang kertas agar lebih mudah dimasukkan ke dompet, tetapi untuk mengajarkan putra kami bagaiman cara hidup hemat dan gemar menabung sekaligus menunjukkan langsung cara bertransaksi Tabungan SIMPEL di Bank.
8. Siapa yang harus disalahkan ketika putra kami saat berada di sekolah kemudian bercerita atau memberikan informasi kepada teman-temanya atau bahkan kepada guru-gurunya, bila uang koin pecahan Rp 500 dan Rp 1000 sudah tidak laku di Bank.